Rabu, 24 Agustus 2016



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hadits atau yang disebut dengan sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrirnya. Sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Qur'an, sejarah perjalanan Hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetapi, dalam beberapa hal terdapat ciri-ciri tertentu yang spesifik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus.
Hadisdapat disebut sumber hukum Islam ke-dua setelah Al-Qur’an karena, hadis diriwayatkan oleh para perawi dengan sangat hati-hati dan teliti, sebagaimana sabda Nabi s.a.w. :
من كذ ب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النا ر
“Barangsiapaberdustaatasnamakudengansengaja, makatempatgianyadalamnerakadisediakan”
Tidakseperti Al-Qur'an, dalampenerimaan Hadits dari Nabi Muhammad SAW banyakmengandalkanhafalan para sahabatnya, dan hanyasebagiansaja yang ditulisolehmereka. Penulisanitupunhanyabersifat dan untukkepentinganpribadi. Dengandemikian, Hadits-hadits yang ada pada para sahabat, yang kemudianditerimaoleh para tabi'in, memungkinkanditemukanadanyaredaksi yang berbeda-beda. Sebab ada yang meriwayatkannyasesuaiatausamabenardenganlafadz yang diterima dari Nabi SAW, dan ada yang hanyasesuaimaknaataumaksudnyasaja, sedangkanredaksinyatidaksama.
Atas dasar itulah, maka dalam menerima suatu Hadits, langkah yang harus dilakukan adalah dengan meneliti siapa pembawa Hadits itu (disandarkan kepada siapa Hadits itu), untuk mengetahui apakah Hadits itu patut kita ikuti atau kita tinggalkan. Oleh karena untuk memahami Hadits secara universal, diantara beberapa jalan, salah satu diantaranya adalah dengan melihat Hadits dari segi kuantitas atau dari segi kualitasnya.
Berangkat dari hal tersebut di atas, maka untuk memahami Hadits ditinjau dari kuantitas atau kualitas sanad, maka dalam makalah ini akan kami bahas mengenai Hadits ditinjau dari kuantitas atau kualitasnya.




1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana macam-macam hadits dilihat dari segi kualitas?
2.      Bagaimana macam-macam hadits dilihat dari segi kuantitas?
1.3 tujuan
1.      Untuk mengetahui dan memahami macam-macam hadits dilihat dari segi kualitas
2.      Untuk mengetahui dan memahami macam-macam hadits dilihat dari segi kuantitas


















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Macam-macam Hadits dilihat dari Segi Kualitas
Ditinjau dari segi nilainya ( kualitasnya), hadits itu dapat dibagi menjadi tiga macam yakni :
1.      Hadits shahih
Sahih secara etimologi adalah lawan dari saqim (sakit), sedangkan dalam istilah ilmu hadits berarti hadits yang berhubungan (bersambung) sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil , dhabith, yang diterimanya dari perawi yang sama (kualitasnya) dengannya sampai kepada akhir sanad, tidak syadz dan tidak pula berillat.
Yang dimaksud dengan hadits shahih menurut Muhadditsin ialah hadits yang dinukilkan (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak berillatdan tidak janggal.
Syarat-syarathaditsshahih :
1.      Rawinyabersifatadil
2.      Sempurna ingatannya
3.      Sanadnya tidak putus
4.      Hadits itu tidak berillat
5.      Tidak syadz atau janggal.
Para ulama membagi Hadits shahih menjadi dua bagian, yaitu shahih li-dzatih dan shahih li ghoirih.Perbedaan antara kedua bagian ini terletak pada segi hafalan atau ingatan perawinya kurang sempurna.
a)      Hadits sahih li-dzatih
Yang dimaksud dengan sahih li-dzatih ialah hadits yang tidak memenuhi secara sempurna persyaratan sahih, khususnya yang berkaitan dengan kurang sempurna pada hadits sahih li ghairih. Sehingga dengan demikian bisa dikatakan bahwa, sebenarnya hadits shahih bagian ini asalnya bukan hadits shahih melainkan hadits li dzatih.
Contoh :
عِنْدَبِاالسِّوَاكِتَهُمْلَامَرْاُمَّتِيعَلَيأَشُقَّأَنْلَالَو كُلِّ صَلاَةٍ ْ( رواه البخا ري )
“ Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya akan kuperintahkan ber-siwak setiap kali hendak melaksanakan salat “.( H.R Bukhari)


b)        Hadits Shahih li-ghairih
“ Hadits yang keadaan rawi-rawinya kurang Hafidh dan dlabith tetapi mereka masih terkenal orang yang jujur, hingga karenanya berderajat hasan, lalu di dapati padanya dari jalan lain yang serupa atau lebih kuat, hal-hal yang dapat menutupi kekurangan yang menimpanya itu “.
2. Hadits Hasan
Hadits Hasan menurut bahasa berarti Sesuatu yang disenangi dan di  oleh nafsu. Sedangkan hadits Hasan menurut istilah para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya..
Menurut At-Turmudzy Hadits Hasan ialah Hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan Hadits itu di riwayatkan tidak dari satu jurusan ( mempunyai banyak jalan) yang sepadan ma’nanya.
Sedangkan menurut Jumhuru’l-Muhaddutsin Hadits Hasan ialah Hadits yang dinukilkan oleh seorang adil, ( tapi ) tak begitu kokoh ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan pada matannya”
Sebenarnya perbedaanantaraHaditsShahihdan Hasan itu, terletakpadasyaratkedlabithanrawy. YaknipadaHadits Hasan, kedlabithannyalebihrendah( tidakbegitubaikingatannya ), jika di bandingkandenganHaditShahih. Sedangsyarat-syaratHaditsShahih yang lainmasihdiperlukanuntukHadits Hasan.
Dengan kata lain, syarathaditshasandapat di rincisebagaiberikut :
1.Sanadnyabersambung..
2.Perawinya adil.
3.Perawinya harus dhabit, tetapi kualitas ke dhabitannya dibawah ke dhabitan perawi hadits shahih.
4.Tidak terdapat kejanggalan ( syadz )
5.Tidak ada illat ( cacat )
Hadits hasan itu dapat di bagi menjadi dua yaitu :
a)      Hadits hasan lidzatihi
Hadits Hasan Lidzatihi ialah Hadits yang terkenal para perawinya tentang kejujuran dan amanahnya tetapi hafalan dan keteguhan hafalannya tidak mencapai derajat para perawi hadits shahih.
b). Haditshasanlighairihi                                                                         
                  haditshasanlighairihiialah :
الْحَسَنُ لِغَيْرِهِ هُوَ الَّضّعِيْفُ اِذَا تَعَدَّدَتْ طُرُقُهُ وَلَمْ يَكُنْ سَبَبُ ضُعْفِهِ فِسْقُ الرَّاوِى اَوْكَذْبِهِ
      “haditshasanlighairihiialahhaditsdha’ifdimanajumlahperawi yang meriwayatkannyabanyaksekalidansebabkedha’ifannyatidakdisebabkankefasikanperawiatau orang yang tertuduhkuatsenangberlakubohong.
                  Maksudnyaadalahhaditsdha’ifdimanasistemperiwayatannyasebagaisyaratkeshahihan, banyak yang tidakterpenuhi, tetapimerekadikenalsebagai orang yang tidakbanyakberbuatkesalahanatauberlakudosadan para perawibanyakmeriwayatkannya, baikmenggunakanredaksi yang samamaupun yang adakemiripan.
3. Hadits Dla’if
Menurut bahasa Dlaif berarti ‘Ajiz =  yang lemah sebagai lawan qawiyyu = kuat. Sedangkan hadits dha’if menurut istilah , para ulama’berbeda-beda dalam susunan redaksinya, tetapi substansi dari definisi tersebut adalah sama, diantaranya:
a). al-Nawawiy
الْحَدِيْث الضَّعِيْفُ هُوَ مَالَمْ يُوْجَدْ فِيْهِ شُرُوْطٌ مِنْ شُرُوْ طِ الْحَسَنِ
“Hadits yang didalamnyatidakditemukansyarat-syarat yang wajibadadalamhaditsshahihdanhasan”
b)      Thahhan
هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَةَ الْحَسَنِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ
“Hadits yang didalamnya tidak terkumpul syarat-syarat yang wajib ada dalam hadits hasan disebabkan tidak adanya satu syarat yang menjadi syarat-syarat hadits hasan”
c).  Nur Din ‘Itr
الْحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ هُوَ مَا فَقُدَ شَرْطَا ِنْ شُرُوْطِ الْحَدِ يْثِ الْمَقْبُوْلِ
      hadits yang didalamnyatidakditemukansatusyaratdarisyarat-syarathadits   yang diterima (maqbul).
d).  Ajjaj al-khathibi
الْحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ هُوَ كُلُّ حَدِ يْثٍ لاَ تَجْتَمِعُ فِيْهِ صِفَةُ الْقَبُوْلِ
hadits dha’if adalah hadits yang didalamnya tidak terkumpul sifat maqbul.
      Dari beberapa definisi id atas, dapat diambil kefahaman jika dalam satu hadits telah hilang satu syarat dari sekian syarat-syarat yang harus ada di dalam hadits hasan, maka status hadits tersebut dinyatakan sebagai hadits dha’if, apalagi jika jika syarat yang hilang sampai dua atau tiga syarat, seperti perawinya tidak ada, tidak memiliki daya ingatan kuat dan ada kejanggalan atau cacat.
Contoh hadits dho’if yang diriwayatkan oleh imam Turmudziy, dari jalur Syu’bah, dari ‘Asyim bin Ubaidillah, dari Abdullah bin ‘Amr bin Rabi’ah, dari ayahnya, tentang maskawin seorang wanita yang berupa sepasang sandal, lalu Rasulullah saw bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللّه  : " اَرَضِيْتِ مِنْ نَفْسِكَ وَمَا لِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟.قَا لَتْ"نَعَمْ" فَأَ جَا زَهُ
      “berkata Rasulullah SAW : apakah kamu ridha (senang) menerima maskawin berupa sandal ?. lalu wanita itu menjawab, iya, kemudia beliau meloloskan ( menikahkan ) nya.
2.2 Macam-macam Hadits dilihat dari Segi Kuantitas
 Dalam mengungkapkan pembagian hadis dari segi kuantitas sanadnya maka para ulama hadis (Muhhaddisin) membaginya menjadi dua macam :
1)      Hadis Mutawatir
a.       Pengertian
            Kata mutawatir menurut lughat ialah al-mutatabi` yang berarti yang datang kemudian, beriring-iringan atau berturut-turut satu dengan yang lain.
     Sedangkan menurut istilah ialah
ا لّذ ي رواه جمع كثير لا يمكن توا طؤهم على الكذب عن مثلهم انتهاءالسّند و كان مستندهم الحسّ
            Arti: “hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad dengan didasarkan pada pancaindera”.
      Berdasarkan defenisi di atas dapat kita pahami bahwa hadis mutawatir adalah hadis yang bersifat indrawi yang diriwayatkan oleh banyak orang pada setiap tingkatan sanadnya, yang secara tradisi dan akal sehat mustahil mereka besepakat untuk berusta dan memalsukan hadis.
b.      Syarat-syarat Hadits Mutawatir
1)      Diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak
        Bilangan para  perawi hadis harus mencapai jumlah yang menurut tradisi mustahil untuk besepakat untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat untuk untuk berdusta.
Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. hal tersebut diqiyaskan dengan jumalah saksi yang diperlukan oleh hakim.
Ashabus Syafi` menentukan minimal  5 orang.  hal ini diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
          Sebagian ulama menetapkan 20 orang.  Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mu`min yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang ( Q.S Al-Anfal :65)

2)      Adanya jumlah banyak pada seluruh tingkatan sanad
               Jumlah banyak orang pada tingkatan (thabaqat) sanad dari awal sampai akhir sanad. Jika jumlah banyak  tersebut hanya pada sebagian sanad saja maka tidak dinamakan mutawatir tetapi dinamakan ahad. Persamaan jumlah para perawi tidak berarti harus sama jumlahya, mungkin saja jumlahnya berbeda namun nilainya sama. Misalnya, pada awal tingkatan 10 orang, tingkatan berikutnya 20 orang, 40 orang dan seterusnya. Jumlah seperti ini tetap dinamakan sama dan tergolong mutawatir.
3)      Mustahil bersepakat untuk berbohong
                    Misalnya para perawi dalam sanad itu memiliki latar belakang yang berbeda-beda baik Negara, jenis dan pendapat yang berbeda pula. Sehingga dengan jumlah seperti ini secara logika mustahil terjadi adanya kesepakatan untuk berbohong dan memalsukan hadis. Pada masa awal pertumbuhan hadis, memang tidak bisa dianalogikan dengan jaman sekarang ini, di samping kejujuran, dengan daya memori mereka yang masih handal sehingga sangat sulit besepakat untuk berbohong dalam suatu periwayatan.
                    Salah satu alasan pengingkar sunnah dalam penolakan mutawatir adalah pencapaian jumlah banyak tidak menjamin dihukumi mutawatir karena masih memungkinkan untuk bersepakat berbohong. Hal ini karena mereka menganalogikan  dengan realita dunia sekarang dimana kejujuran tidak bisa dipertanggungjawabkan, apalagi hal itu berada dalam bingkai politik dan lain-lain. Oleh sebab itu sehingga para pengingkar sunnah menolaknya, karena sekalipun sudah mencapai jumlah yang banyak tetapi masih memungkinkan terjadinya kesepakatan untuk berbohong.
4)      Sandaran berita itu pada panca indera.
               Yang dimaksudsandaran panca indera adalah berita tersebut didengar atau dilihat oleh pemberitanya, tidak disandarkan pada logika atau akal sebagaimana sifat barunya alam, berdasarkan kaedah logika; setiap yang baru itu berubah. Baru artinya sesuatu yang diciptakan bukan wujud dengan sendirinya. Sehingga apabila hadis itu logis atau tidak inderawi. Sandaran berita pada panca indera misalnya ungkapan:
      Sami`na (kami mendengar) dari Rasulullah bersabda begini
      Ra`aina (kami melihat ) Rasulullah melakukan begini dan seterusnya.
c.       Hukum Hadits Mutawatir
          Hadis mutawatir memberikan fadah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan karena ia memberikan keyakinan yang qat`i (pasti) dengan seyakin-yakinnya tanpa ada keraguan sdikitpun bahwa Rasulullah  saw, betul-betul menyabdakan atau mengerjakan sesuatu  seprti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
          Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa penelitian rawi-rawi hadis mutawatir tentang keadilan dan kedhabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas atau jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat untuk berbohong. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim  menerima dan mengamalkan semua hadis mutawatir.Tidak ada perselisihan dikalangan para ulama tentang keyakinan faedah hadis mutawatir ini. Al-Hafidz mengatakan: khabar mutawatir member faedah dharuri, seseorang harus menerima dan tidak apat menolaknya.
          Seseorang yang mengingkari ilmu dharuri yang dihasilkan dengan periwayatan mutawatir sama halnya dengan mengingkari ilmu dharuri yang dihasilkan dengan penglibatan panca indera. Karena dengan jumalah banyak perawi yang tidak memungkinkan sepakat untuk berbohong itu sudah cukup dijadikan alat untuk mencapai tujuan akhir atau untuk mengetahui tingkat kesahihan suatu hadis yang merupakan sumber syari`ah Islam. Oleh karena itu, penelitian sifat-sifat perawi mutawatir tidak diperlukan sebagaimana hadis  Ahad.
d.      Macam-macam Hadits Mutawatir
                    Para ulama hadis membagi hadis mutawatir menjadi tiga macam, yaknimutawatir lafzhi, mutawatir ma`nawidan mutawatir amali.
1.      Mutawatir Lafzhi
Mutawatir lafzhi menurut Nur Ad-Din Atsar adalah:“Hadis yang mutawatir dalam satu lafadh”.
Sedangkan menurut Muhammad At-Tahhan:
ماتواترلفظه ومعناه
Hadis yang mutawatir lafadh dan ma`nanya”.
Dan menurut Tawjih An-Nadzar adalah:
“ Hadis yang sesuai lafal para perawinya, baik menggunakan satu lafal atau lafal lain yang sama makna dan menunjukkan kepada makna yang dimaksud secara tegas”.
Contoh mutawatir lafzhi :
من كذب عليّ متعمّدا فليتبوّأ مقعده من النار
“ Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari api neraka”.(HR.Bukhari, Muslim, Ahmad, At-Tirmizi, An-Nasa`i, dan Abu Daud)

2.      Mutawatir  Ma`nawi
            Sebagian ulama mendefinisikannya sebagai berikut:
ما اجتلفوا في لفظه ومعناه مع رجوعه لمعنى كليّ
Hadis yang berbeda lafal dan maknanya, tetapi kembali kepada satu makna yang umum.
                        Dari defenisi di atas, maka mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir pada makna, yaitu beberapa riwayat yang berlainan tetapi memiliki makna yang sama atau satu tujuan. Misalnya, Hatim diriwayatkania memberi seseorang seekor unta, periwayatan lain ia memberi seekor kuda dan riwayat lain pula ia memberi hadiah dinar. Maka disimpulkan makna periwayatannya bahwa ia seorang dermawan.

3.      Mutawatir Amali
                        Sebagian ulama memberikan defenisi mutawatir amali sebagai berikut:
ما علم من الدّ ين با لضرورة وتواتر بين المسلمين أن النبيّ صلى ا الله عليه وسلّم فعله أو أمر به أو غير ذلك
“sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir antara kaum muslimin bahwa Nabi saw. Mengerjakannya atau menyuruhnya dan atau selain itu”.
                        Dengan demikian hadis mutawatir amali adalah hadis mutawatir yang menyangkut perbuatan Rasulullah saw. Yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang banyak, untuk kemudian dijadikan contoh pada generas-generasi berikutnya. Misalnya hadis tentang shalat.
Kitab-kitab tentang hadis mutawatir antara lain:
·      Al-Azhar Al-Mutanatsirah fil Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi
·      Qahtful Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab di atas.
·      Al-La`ali Al-Mutanatsirah filAhadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi
·      NazhmulMutanatsirahminal Hadits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja`far Al-Kittani
2)      Hadis Ãhãd
a.       Pengertian
       Ãhãd  merupakan jamak dari ahad dengan makna satu atau tunggal. Sedangkan menurut istilah menurut ulama  Hadis Aahaad adalah
الخبر الذي لم تبلغ نقلته فى ألكثرة مبلغ الخبرالمتواتر سواءٌ كان المخبر واحدا أواثنين أو ثلاثة أو أربعة أو جمسة إلى غير ذلك من الأعدادالّتي لاتشعر بأنّ اخبر دخل بها في خبرالمتوات
Khabar yang tiada sampai jumlah banyak pemberitanya kepada jumlah khabar mutawatir, baik pengkhabar itu seorang, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya dari bilangan-bilangan yang tiada memberi pengertian bahwa khabar itu dengan bilangan tersebut masuk ke dalam khabar mutawatir”.
 Dengan pengertian di atas sehingga hadis aahaad member faedah ilmuNazhari, artinya ilmu yang diperlukan penelitian dan pemeriksaan terlebih dahulu, apakah jumlah perawi yang sedikit memiliki sifat-sifat kreadibilitas yang mampu dipertanggungjawabkan atau tidak. Hadis inilah yang memerlukan penelitian secara cermat apakah  apakah para perawinya adil atau tidak, dhabith atau tidak, sanadnyabersambung atau tidak, sehingga dapat menentukan tingkat kualitas suatu hadis apakah  ia shahih, hasan atau dha`if.

b.      Pembagian Hadits Ahad
              Hadis Aahaad terbagi menjadi 3 macam yaitu: Masyhur, `Aziz dan Gharib.
a.     Hadis Masyhur
            Masyhur menurut bahasa adalah tenar, terkenal atau menampakkan. Dalam istialh hadis masyhur terbagi menjadi dua macam yaitu:
1)   Masyhur Ishthilaahi.
       “Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih pada setiap tingkatan (tabaqaqh) sanad dan belum mencapai tingkat mutawatir”.
Contoh hadis :
 sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba, tetapi akan melepaskan ilmu dengan dengan mengambil para ulama, sehingga apabila tidak terdapat serang yang alim  maka orang yang bodoh akan dijaikan sebagai pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu, mereka sesat dan menyesatkan”.
        Hadis ini diriwayatkan oleh tiga orang sahabat yaitu Ibnu Amru, Aisyah dan Abu Hurairah. Dengan demikian hadis ini masyhur dikalangan sahabat, karena terdapat tiga orang sahabat yang meriwayatkannya, sekalipun dikalangan tabi`ian lebih dari tiga orang tapi tidak mencapai tingkat mtawatir.
2)             Masyhur Ghayr Ishthilahi
       Hadis MasyhurGhayrIshthilahiadalah hadis yang popular atau terkenal dikalangan kelompok atau golongan tertentu, sekalipun jumlah perawinyatiak mencapai tiga orang atau lebih.

b.      Hadits `Aziz
                      `Aziz secara bahasa berarti sedikit atau langka, atau berarti kuat. Hadis diberi nama`aziz
karena sedikit atau langka adanya.
       Dari segi istilah terdapat beberapa defenisi antara lain adalah
“ hadis yang tidak diriwayatkan kurang daridua orang disemua tingkatan (tabaqah) sanad”.
contoh hadis `aziz:
لايوءمن أحدكم حتىّ أكون أحبّ إليه من نفسه من ولده ووالده والنّاس أجمعين (متفق عليه)
hadis diriwayatkan dari Abu Hurairahra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: tidak beriman salah seorang diantara kamu sehingga aku lebih dicintai dari pada orang tuanya, anaknya dan manusia semuanya”.(HR.Muttafaq `Alaih)
Hadis ini diriwayatkan oleh dua orang sahabat yaitu Anas dan Abu Hurairah.Kemudian Anas memberitakan kepada dua orang yaitu Qatadah dan Abdul Aziz ibnShuhaib.Qatadah memberitakan pula kepada dua orang yaitu Syu`bah dan Sa`id. Dan Abdul Aziz memberitakan pula kepada dua orang yaitu Ismail ibn Ulaiyah dan Abdul Waris.
c.       Hadis Gharib
       Gharib menurut bahasa berarti “menyendiri” atau “ jauh dari kerabatnya”. menurut istilah ialah “  hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya”.
Ibnu Hajar mendefenisikan sebagai berikut:
“hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendiriansanaditu terjadi”.
Dilihat dari bentuk penyendirian rawi, hadis gharib terbagi menjadi dua macam:
a). Gharib Mutlak
Gharib mutlak yaitu “ hadis yang garabah-nya (perawi satu orang) terletak pada pokok sanad. Pokok sanad adalah ujung sanadyaitu seorang sahabat”.

     Pokok sanad atau disebut asal sanad karena sahabat yang menjadi referensi utama dalam periwayatan hadis meskipun banyak jalan dan tingkatan dalam sanad. Contoh hadis Nabi saw.
عن عمرابن الخطّاب رضى الله عنه قال: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول: انّما الاعمال با لنّيات و انّما لكلّ امرئ ما نوى (رواه البخارى ومسلم وغرهما)
“ Sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya,…….”
     Hadis ini hanya diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khattab saja. Kemudian diriwayatkan oleh Al-Qamah bin Waqqash kemudian Muhammad bin Ibrahim. Dengan demikian hadis tersebut gharib mutlak karena hanya Umar bin Khattab saja yang meriwayatkan dari kalangan sahabat.
b). Gharib Nisbi
                   Gharib nisbi yaitu apabila keghariban (perawi satu orang ) terjadi pada pertengahan sanad bukan pada awal sanadnya. Maksudnya satu hadis yang diriwayatkanoleh lebih dari satu orang perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadis ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari para perawi tersebut.
        Adapun berbagai kegharibanatau ketersendirian yang dianggap sebagai gharibnisbi adalah sebagai beikut:
·      Seorang perawi terpercaya secara sendiriran meriwayatkan hadis (muqayyad bi ats-tsiqah)
·      Seorang perawi tertentu meriwayatkan secara sendiriran dari seorang perawi tertentu pula (muqayyad `alaar-rawi)
·      Penduduk negeri atau penduduk daerah secara tersendiri meriwayatkan hadis (muqayyad bi al-balad).















BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Berdasarkan pembahasan di atas maka  dapat disimpulkan hadis ditinjau dari kuantitas dan kualitas sanadnya sebagai berikut :
1.      Hadits ditinjau dari segi kuantitasnya dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad
2.      Hadits mutawatir terbagi menjadi tiga macam yaitu: mutawatir lafzhi, mutawatir ma’nawi, dan mutawatir ‘amali
3.      Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi tiga yaitu: masyhur, ‘azis, gharib (gharib mutlak dan gharib nisbi)
4.      Hadits ditinjau dari segi kualitasnya dibagi menjadi tiga, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. 
5.      Sedangkan pengklasifikasian hadits dha’if  berdasarkan cacat pada ke-adil-an dan ke-dhabit-an rawi dibagi antara lain: hadits maudhu’, hadits matruk, hadits munkar, hadits syadz. Klasifikasi hadits dha’if berdasarkan gugurnya rawi, terbagi menjadi:hadits mu’allaq, hadits mu’dhal, hadits mursal, hadits munqathi, hadits mudallas.











DAFTAR PUSTAKA
‘Ajaj al-Khatib., Muhammad 1998.  terj: Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Ushulul Hadits: Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Ajaj al-Khotib, Muhammad.Ushulu al-Hadisi : Ulumuhu wa Musthalahuhu. Dar al-Manarah : Jeddah, Makkah
Ahmad, Muhammad dan M. Mudzakir. 2000. UlumulHadits. PustakaSetia: Bandung.
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadits.PT Raja Grafindo Persada,:Jakarta.